PINUSI.COM - Perekonomian yang kuat, inflasi yang tinggi, dan ketegangan geopolitik, membuat dolar Amerika Serikat (AS) melonjak.
Hal itu juga berdampak pada sejumlah pasar di seluruh dunia.
Dolar AS tampaknya sedang menyiapkan kenaikan selama empat bulan berturut-turut, setelah mencapai level tertinggi terhadap beberapa mata uang utama sejak November 2023.
Menguatnya dolar AS menunjukkan betapa sensitifnya pasar mata uang global terhadap ekspektasi penurunan suku bunga AS, dan perubahan suku bunga secara bersamaan.
"Kami memantau arus investor, dan pembelian dolar AS sejak rilis CPI menguat," kata Kepala Strategi Makro Eropa State Street Global Markets Tim Graf, dikutip dari Reuters, Selasa (23/4/2024).
Beberapa pasar global yang terkena dampak penguatan dolar adalah:
1. Jepang dan Korea Selatan
Nilai dolar AS sekarang di bawah 155 yen, yang merupakan nilai tertinggi sejak 1990.
Meskipun Jepang mengakhiri kebijakan suku bunga negatifnya pada Maret 2024, perbedaan suku bunga antara Jepang dan AS masih besar, dan diperkirakan akan bertahan selama beberapa waktu, yang akan menyebabkan yen tetap lemah.
Akibatnya, yen dinobatkan sebagai mata uang negara G-10 dengan kinerja terburuk tahun ini, dengan nilai merosot 9%.
Untuk pasar Korea Selatan, dolar AS menguat 7% terhadap won dalam sebulan terakhir, dan berada pada level tertinggi dalam satu tahun terakhir.
Pekan lalu, AS, Jepang, dan Korea Selatan sepakat melakukan diskusi intensif mengenai pasar mata uang.
"Pernyataan seperti ini menunjukkan Kementerian Keuangan Jepang atau otoritas setara di Korea Selatan, ingin melanjutkan dan memoderasi volatilitas nilai tukar mereka, AS tidak akan keberatan," ujar James Lord, Kepala FX dan Strategi Pasar Negara Berkembang Morgan Stanley.
2. Asia: Cina dan Negara-negara Berkembang Lainnya
Di pasar keuangan Asia, penguatan dolar AS menyebabkan masalah.
Rupee India dan dong Vietnam berada di titik terendah.
Bahkan, saat rupiah berada di titik terendah dalam empat tahun terakhir, Bank Indonesia sedang mempertimbangkan melakukan intervensi pasar, yang merupakan praktik umum di negara-negara berkembang.
Selain itu, karena yuan Cina mengalami depresiasi yang lebih kecil dibandingkan mata uang lain, para pedagang memperhatikan bagaimana yuan Cina, dijual baik di dalam maupun di luar negeri.
Pelemahan yuan akan membantu eksportir, tetapi juga akan menyebabkan negara tirai bambu itu kehilangan uang.
Adrash Sinha, kepala strategi suku bunga dan mata uang Asia Bank of America, juga menilai Yuan sebagai mata uang Asia dengan tekanan paling rendah.
"Yuan di luar negeri jelas berada di urutan teratas dalam daftar," ucap Adrahsh.
3. Eropa
Sebagian besar bank telah menurunkan ekspektasi mereka terhadap euro atau dolar AS, tetapi euro, yang diperdagangkan di atas US$ 1,06, bukanlah mata uang yang lemah terhadap dolar AS.
Mayoritas pasar mengantisipasi Bank Sentral Eropa (ECB), dan Federal Reserve menurunkan suku bunga segera, setelah data inflasi AS terbaru dirilis.
Namun, saat ini, ECB diproyeksi akan melakukan pemangkasan suku bunga pada Juni, dan ekspektasi Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada September 2024, telah mendorong nilai euro ke posisi terendah dalam lima bulan terakhir.
"Jika euro terus melemah di bawah $1,05 dan harga minyak naik, maka (euro) akan mengalami dorongan inflasi, sehingga ECB harus sangat berhati-hati setelah penurunan suku bunga pertama," kata Kepala Penelitian Korporat FX dan Suku Bunga Societe Generale Kenneth Broux.
4. Swedia
Deputi Gubernur Bank Sentral Swedia Per Jansson memperkirakan, ekspektasi inflasi akan dipengaruhi oleh penurunan mata uang Swedia, terlepas dari penurunan inflasi di Swedia yang mendorong ekspektasi penurunan suku bunga pada Mei.
Goldman Sachs memperkirakan, krona Swedia akan melemah sekitar 8% terhadap dolar AS hingga 2024, turun menjadi US$ 11,14 per dolar dari US$ 10,89 saat ini.
"Narasi yang lebih tinggi dan lebih panjang di AS menciptakan masalah bagi (Riksbank)."
"Ketika kondisi moneter (di Swedia) mulai melemah dalam waktu dekat, hal ini akan memperlebar perbedaan suku bunga, dan hal ini berdampak negatif bagi mata uang," ulas ahli strategi UBS FX Yvan Berthoux.
5. Swiss
Bank Nasional Swiss (SNB) khawatir tentang mata uangnya, karena kekhawatiran mengenai kesulitan eksportir saat ini, meskipun franc Swiss telah melemah 7,5% terhadap dolar sepanjang tahun ini.
Ini adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh kebanyakan bank sejenis.
"Inflasi terus mengejutkan pada sisi negatifnya, sehingga menyiratkan kondisi moneter agak terlalu membatasi, artinya (SNB) senang melihat franc melemah," cetus Berthoux. (*)