PINUSI.COM - Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia akan naik menjadi 12%. Perubahan ini berlaku untuk semua jenis transaksi, baik tunai maupun non-tunai. Namun, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa PPN hanya dikenakan atas biaya layanan (service fee) dari penyedia jasa pembayaran (PJP) kepada merchant, seperti Merchant Discount Rate (MDR), bukan pada konsumen.
Kebijakan MDR QRIS dan Dampaknya pada Pelaku Usaha Mikro
BI telah menetapkan MDR QRIS sebesar 0% sejak 1 Desember 2024 untuk transaksi hingga Rp500.000 pada merchant Usaha Mikro (UMI). Dengan kebijakan ini, PPN atas MDR transaksi tersebut menjadi nol rupiah. BI menyatakan, "Dengan kebijakan ini, pelaku Usaha Mikro (UMI) tidak mendapat tambahan beban, sehingga konsumen tetap bisa menggunakan QRIS tanpa khawatir."
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan kenaikan PPN ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada daya beli masyarakat. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa dampak kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya menyumbang inflasi sebesar 0,2%, dengan target inflasi 2025 tetap berada di kisaran 1,5%-3,5%.
"Kenaikan PPN ini diharapkan tidak akan menyebabkan lonjakan harga barang dan jasa, sebagaimana yang terjadi pada kenaikan dari 10% menjadi 11% di tahun 2022," tambahnya.
Meski pemerintah optimistis, sejumlah pengusaha dan bankir mengkhawatirkan dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat. Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk., Efdinal Alamsyah, menyebutkan bahwa kenaikan PPN dapat meningkatkan harga barang dan jasa, yang berpotensi menekan permintaan kredit konsumer, seperti KPR dan KKB.
Sementara itu, Executive Vice President Consumer Loan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), Welly Yandoko, memandang kenaikan PPN sebagai tantangan bagi sektor properti. Ia menjelaskan, "Kenaikan PPN akan berdampak pada harga properti akibat peningkatan biaya bahan bangunan, ditambah ketidakpastian ekonomi yang memengaruhi daya beli masyarakat."