PINUSI.COM - Pemerintah telah mengumumkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025. Langkah ini disertai dengan berbagai stimulus ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Kebijakan ini diharapkan dapat meminimalkan dampak kenaikan tarif terhadap konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, kebijakan ini mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kalimantan Tengah, Cornelis, meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Menurutnya, beban kenaikan PPN selama ini sering kali langsung dirasakan oleh masyarakat. "Contohnya di rumah makan, kenaikan tarif makanan akibat PPN biasanya tanpa disadari justru dibebankan ke pembeli," ujarnya pada Rabu (18/12/2024).
Cornelis juga mengkritik kebijakan kenaikan upah minimum pekerja yang dianggap tidak signifikan meningkatkan kesejahteraan buruh. "Kenaikan PPN dan kebutuhan pokok menjelang Natal dan Tahun Baru justru membuat kenaikan upah tak berdampak besar pada kesejahteraan pekerja," tambahnya.
Hal senada disampaikan Naomi, seorang pedagang di pasar Datah Manuah, Palangka Raya. Ia berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan inovatif untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok yang sering melonjak saat hari besar keagamaan. "Keadaan ini mengurangi omzet penjualan pedagang. Jika PPN naik, daya beli masyarakat bisa menurun karena banyak yang memilih berhemat," kata Naomi.
Untuk mengurangi dampak kenaikan PPN ini, pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif. Barang-barang pokok seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng akan mendapatkan subsidi berupa Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen. Dengan kebijakan ini, harga barang-barang tersebut diharapkan tetap stabil, sehingga masyarakat tidak merasakan dampak kenaikan PPN secara langsung.