PINUSI.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan sebagian uji materi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah gabungan serikat buruh lainnya. Gugatan ini dilayangkan dalam aksi unjuk rasa mengawal pembacaan Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang mencakup 678 halaman, Kamis (31/10/2024).
Sementara itu, MK telah mengubah 21 aturan dalam UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang ditulis ulang oleh Partai Buruh sebagai pihak pemohon uji materi. Lebih jelas, berikut ini ringkasan 12 poin penting dalam putusan MK tentang gugatan UU Cipta Kerja.
- Pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja
Baca Juga: Basuki Hadimuljono Dilantik Sebagai Kepala Otorita IKN Nusantara di Hari Ulang Tahunnya
Melalui putusannya, MK meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk undang-undang untuk segera menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru. Selain itu, MK juga menyoroti adanya tumpang tindih dalam UU Ketenagakerjaan yang dinilai sulit dipahami oleh masyarakat umum, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
- Prioritaskan TKI daripada TKA
MK membatalkan kebijakan multitafsir yang tidak secara jelas mengatur pembatasan mengenai masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA). Sebelumnya dalam Pasal 81 Nomor 4 UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa "hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.”
Baca Juga: DKPP Adakan Rakor Penyelenggara Pemilu di Jakarta
Namun, Majelis Hakim kemudian menambahkan klausul yakni, "dengan memperhatikan prioritas penggunaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)”.
- Penegasan Durasi Kontrak Kerja
MK menegaskan kembali soal aturan durasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sebelumnya, aturan PKWT dalam UU Cipta Kerja dikembalikan pada bentuk perjanjian atau kontrak kerja. Sementara itu, UU Ketenagakerjaan lebih dulu menetapkan bahwa durasi tersebut harus berdasarkan ketentuan waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Gugatan putusan ini merupakan bentuk upaya melindungi hak pekerja untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kemudian, MK menetapkan bahwa durasi maksimum PKWT adalah 5 tahun, termasuk jika ada perpanjangan PKWT.
- Pembatasan Jenis Outsourcing
Majelis Hakim meminta agar undang-undang kelak menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya (outsourcing) demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja. MK menilai perusahaan penyedia jasa outsourcing dan pekerja perlu memiliki standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan, sehingga para buruh hanya akan bekerja sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.
Di samping itu, batasan ini juga diharapkan dapat mempertegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing. Hal ini sebab dlam praktiknya, outsourcing kerap memicu konflik pekerja dengan perusahaan.
- Penetapan Libur 2 Hari Seminggu
Selanjutnya, MK mengembalikan opsi libur 2 hari dan 5 hari kerja dalam seminggu bagi para pekerja. Sebelumnya, UU Ciptaker hanya memberikan hak libur 1 hari dalam seminggu tanpa opsi untuk libur 2 hari. Sementara itu, UU Ketenagakerjaan telah sejak awal menyediakan pilihan libur 2 hari dalam seminggu bagi karyawan yang ditentukan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.
- Kelayakan Upah bagi Hidup Pekerja
UU Ciptaker menghapus penjelasan sebelumnya pada pasal yang membahas penghasilan atau upah dalam UU Ketenagakerjaan terkait komponen hidup layak. Ketua MK, Suhartoyo menegaskan putusan bahwa diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan.
Oleh karena itu, MK meminta agar pasal mengenai pengupahan harus mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, mencakup makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
- Penegakan Kembali Dewan Pengupahan
Mahkamah menegakan kembali peran dewan pengupahan yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja. Dengan begitu, penetapan kebijakan upah ke depan tidak akan sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.
Lebih lanjut, MK menegaskan bahwa kebijakan upah harus melibatkan dewan pengupahan daerah sebagai pertimbangan bagi pemerintah pusat dalam menentukan kebijakan upah. Aturan mengenai dewan pengupahan dalam UU Cipta Kerja juga diperkuat oleh MK dengan menambahkan klausul yang menyatakan bahwa dewan tersebut harus berpartisipasi secara aktif.
- Proporsionalisasi Skala Upah
Majelis hakim menilai perlu adanya penambahan frasa "proporsional" untuk melengkapi frasa "struktur dan skala upah." Dalam hal ini, MK menjelaskan frasa "indeks tertentu" dalam soal pengupahan mendorong kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini tak lupa juga dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja.
- Pemberlakuan Kembali UMS
UU Cipta Kerja sebelumnya telah menghapus kebijakan Upah Minimum Sektoral (UMS). MK berpendapat bahwa penghapusan tersebut sama dengan tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Mahkamah menegaskan bahwa UMS perlu diterapkan karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, tergantung pada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, penghapusan UMS dianggap dapat mengancam standar perlindungan bagi pekerja.
- Serikat Pekerja Ikut Berperan Atas Soal Pengupahan
Mahkamah mengembalikan posisi serikat pekerja dalam aturan mengenai upah di atas upah minimum yang sebelumnya kesepakatan tersebut hanya dibatasi antara perusahaan dan pekerja. Selain itu, MK juga menambahkan bahwa struktur dan skala upah di perusahaan harus bukan hanya mempertimbangkan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
- PHK Harus Melalui Putusan Final
MK menegaskan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) harus dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Jika perundingan mengalami kebuntuan, MK menyatakan jika hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang keputusannya telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
- Batas Bawah UPMK
Mahkamah menegaskan bahwa, pengaturan mengenai hitungan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dalam UU Cipta Kerja merupakan batas minimal yang boleh diterapkan untuk upah. Lebih lanjut, MK kembali menegaskan jika Pasal 156 ayat (2) dalam UU Ketenagakerjaan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan konstitusi negara.
Artinya, pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, bahwa upah yang ditetapkan tidak boleh lebih rendah dari angka yang telah diatur dalam pasal itu.