PINUSI.COM – Bulan November lalu, para pemimpin dunia bertemu di Glasgow, Skotlandia, dalam Conference of Parties (COP26). Pertemuan yang didirikan PBB ini berlangsung pada 31 Oktober – 12 November 2021 dan Inggris bertindak sebagai tuan rumah di COP26.
Setidaknya ada empat poin krusial yang dibahas. Pertama, COP26 merupakan penyempurnaan dari COP edisi sebelumya. Kedua, menyetujui langkah perubahan komitmen pengurangan emisi.
Poin ketiga yaitu memperkuat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Serta yang terakhir, meningkatkan kerja sama internasional dalam transisi energi dan transportasi ramah lingkungan.
Namun, Hasil COP26 disebut sejumlah pihak mengecewakan.
Salah satu yang menjadi kekecewaan adalah pembahasan untuk menyetop penggunaan batubara. COP26 gagal menghentikan secara penuh batubara yang disebut sebagai penyebab karbon pemanasan global
Dari poin ini terlihat bertentangan dengan komitmen semua negara peseta COP26 untuk mencegah kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius.
Hampir 200 negara menandatangani kesepakatan untuk mencoba menghentikan penggunaan batubara. Tapi banyak pihak yang menyebut kesepakatan tersebut masih jauh dari kata memuaskan
India dan China melemahkan keputusan akhir di dalam draf kesepakatan. Dua negara tersebut bersikeras menghapus kalimat "menghentikan" penggunaan batubara dan diganti menjadi "mengurangi" secara bertahap.
Pasalnya, penggunaan energi itu dianggap masih amat diperlukan bagi industri mereka meski berbahaya bagi masalah iklim.
Bagaimana dengan sikap Indonesia sebagai negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia dengan produksi 562,5 juta ton, di bawah China dan India dengan masing-masing produksi 3,9 miliar ton dan 756,5 juta ton.
Pada COP26, Indonesia berkomitmen untuk berhenti menggunakan batubara pada tahun 2040.
Namun, kesepakatan itu disebut tidak akan mengurangi kecanduan Indonesia dalam mengeksploitasi hingga menggunakan batubara, kata aktivis lingkungan dari Walhi, Dwi Sawung.
Kecanduan itu diperlihatkan dalam kontradiksi sikap Indonesia di KTT COP26 dengan kebijakan di dalam negeri.
"Pembangunan PLTU masih jalan terus, lalu di RUU tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) masih memberi ruang untuk batu bara. Bahkan saya dengar Kementerian ESDM akan berencana memanfaatkan batu bara ke sektor lain jika listrik dilarang," tambah Sawung.
Menteri ESDM Arifin Tasrif telah menandatangani COP26 Coal to Clean Power Transition Statement, Kamis (04/11), namun hanya tiga dari empat poin yang ditandatangani.
Indonesia menolak poin ketiga, yaitu menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.
Saat ini, pemerintah memang tengah gencar menggalakkan penggunaan energi ramah lingkungan, seperti pembangunan infrastruktur bagi pengguna kendaraan berbasis listrik, serta konversi gas elpiji ke kompor listrik
Kontradiksi antara tujuan dan yang terjadi di lapangan ini seolah memperlihatkan ketidakyakinan Indonesia bergantung pada Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Padahal, sejumlah ahli sudah bernai mengatakan jika EBT, yang notabene mengandalkan alam, memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Lalu, dengan sikap dan keputusan dari pemerintah Indonesiapada COP26, layak untuk dibawa ke KTT G20 yang akan dihelat tahun ini di Indonesia? Sebab, Isu Ekonomi Hijau jadi prioritas pada KTT G20 sebagai upaya pemulihan ekonomi pascapandemi
G20 atau Group of Twenty merupakan salah satu forum multilateral yang diikuti oleh Indonesia. Melansir dari Presidenri.go.id, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut pada Presidensi G20 Indonesia akan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”.
Melansir situs Bi.go.id, G20 adalah sebuah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU).
Saat ini anggota negara G20 meliputi Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.