Hotel telah jalani kewajiban dan taat protokol kesehatan, tapi percuma karena ada larangan berwisata
PINUSI.COM – Banyak hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terpajang di etalase platform jual beli online. Mengejutkan memang, karena bukan sebuah pemandangan biasa jika banyak yang menjual propertinya secara bersamaan, dengan harga di bawah pasaran seperti baju obral-an.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perekonomian tanah air sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan, dampak dari pandemi Covid-19 yang sudah melanda Nusantara nyaris satu tahun lamanya.
Hal ini selaras dengan catatan Badan Pusat Statistik, yang menyebut tingkat penghunian kamar hotel di Provinsi DIY mencapai rata-rata 45 persen pada bulan Desember 2020. Artinya telah terjadi penurunan sebanyak 27,12 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Dengan demikian, Provinsi DIY menempati urutan ketiga soal penurunan tingkat hunian hotel di Indonesia, sesudah Bali dan Kepulauan Riau.
Ada pun hotel-hotel yang terpajang di platform jual beli online, miliki banderol harga yang bervariasi, bergantung luas lahan dan lokasi. Ada yang Rp 20 miliar, Rp 40 miliar bahkan di atas Rp 75 miliar. Berikut rincian beberapa hotelnya:
- Hotel bintang 3 (luas 4.000 m, kapasitas 45 kamar) di Kawasan Taman Siswa, Rp 60 miliar
- Hotel bintang 3 di Kawasan Timoho Timur, Rp 22 miliar
- Hotel bintang 3 (luas bangunan 2.000 m, kapasitas 40 kamar) di Kawasan Malioboro Rp 75 miliar.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranawa Eryana, membenarkan fenomena tersebut. Dia mengungkapkan, dari hari ke hari makin banyak yang bangkrut akibat tidak mampu mempertahankan roda bisnisnya tetap berjalan selama masa pandemi.
Dia merincikan hingga tanggal 1 Februari 2021, tercatat 50 hotel dan restoran yang beberapa unit usahanya tutup. Jumlah tersebut, tutur Deddy, bertambah sebanyak 20 hotel dan restoran, yang mana sebelumnya berjumlah 30 hotel dan restoran.
Namun demikian, dia menegaskan jumlah tersebut belum pasti sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Sebab, jumlah itu bersumber dari anggota PHRI DIY saja, tidak termasuk yang tak terdaftar sebagai anggota. “Ini hanya data yang masuk sebagai anggota PHRI DIY, jumlahnya 300-an. Kalau di luar PHRI, bisa dua kali lipat, ratusan," jelas dia, sebagaimana melansir CNBC Indonesia, Selasa (2/2/2021).
Lebih lanjut dia menuturkan, ada pun penyebab fenomena ini adalah ketimpangan antara kebijakan pemerintah dengan kondisi di lapangan selama pandemi. Yang mana pemerintah gencar mengimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah jika tidak mendesak atau perlu. Di sisi lain, pemerintah tetap memperbolehkan hotel dan restoran beroperasi asal mematuhi protokol kesehatan.
Deddy berpandangan, kepatuhan terhadap protokol kesehatan seperti sertifikasi Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan) pun kini menjadi tiada guna jika roda bisnis tak berjalan.
"Jadi kelihatannya apa gunanya mendapatkan itu, sementara kran kita dimatikan. Karena sektor pariwisata mobilitas pergerakan manusia, kalau pergerakan dihentikan harusnya ada solusi relaksasi, ini yang kita rasakan," tandas dia.