Tekan stunting dengan mencegah perkawinan anak. Faskes adalah ujung tombaknya.
PINUSI.COM – Stunting menunjukkan kekurangan gizi kronis. Terjadi selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satu dampaknya adalah anak memiliki postur tubuh pendek alias kerdil. Indonesia menduduki peringkat 4, negara dengan angka stunting tertinggi di dunia.
Di tahun 2019, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan mencatat 6,3 juta dari 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting. Data itu juga menyebut prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 27,7 persen.
Angka ini masih jauh dari nilai standar badan kesehatan dunia (WHO) yang menetapkan prevalensi seharusnya berada di bawah 20 persen. Selain karena asupan gizi, fenomena pernikahan di usia dini atau perkawinan anak juga turut menyumbang angka stunting di tanah air.
Demikian Lenny Rosalin, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sampaikan pada Jumat (19/2/2021) kemarin.
Karena itu, Lenny berpandangan bahwa dalam menurunkan angka stunting dan perwakinan anak, fasiltas kesehatan (faskes) seperti Puskesmas, memiliki peran penting sebagai ujung tombak. Mengingat, sebanyak 32 persen anak Indonesia berobat ke Puskesmas.
“Jika puskemas di seluruh Indonesia dapat memenuhi 8 dari 15 indikator Puskesmas Ramah Anak dan mengoptimalkan fungsinya untuk mencegah perkawinan anak, maka dapat turut menyelamatkan dan meningkatkan kualitas anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa,” tuturnya di acara Sosialisasi Upaya Pencegahan Perkawinan Anak untuk Mencapai Derajat Kesehatan Masyarakat yang optimal Guna Terwujudnya Indonesia Layak Anak (IDOLA) Tahun 2030.
Ada pun peran dan fungsi puskesmas dalam hal ini, sambung Lenny, melalu optimalisasi edukasi, sosialisasi dan konseling terkait kesehatan reproduksi. Menurutnya, menyampaikan hal tersebut wajib bagi para tenaga kesehatan di puskemas, agar berlanjut ke masyarakat luas seperti keluarga dan anak itu sendiri.
Soal pengetahuan kesehatan reproduksi juga Erna garis bawahi. Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan itu bilang, pemberian edukasi sebaiknya jangan saat anak menginjak usia remaja, melainkan saat anak menginjak usia balita.
Sebab, generasi unggul hanya bisa tercapai melalui pemberian pelayanan kesehatan sejak anak masih di dalam kandungan sampai menginjak usia reproduksi. "Penting, memastikan anak tumbuh sehat dan berdaya saing dengan bekal pengetahuan kesehatan reproduksi sedini mungkin. Sesuai usia dan kondisi anak, baik secara formal dalam pendidikan maupun informal dalam masyarakat,” terang Erna.
Perwakilan Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM PP POGI, dr. Arietta Pusponegoro, menekankan soal korelasi perkawinan anak dengan stunting. Dia menegaskan, perkawinan anak akan menghasilkan kehamilan di usia muda yang sangat berisiko menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas maternal.
“Ini akan membahayakan anak sebagai ibu maupun bayinya. Masa kehamilan, melahirkan, dan nifas yang terbaik yaitu pada usia 20-35 tahun, mengingat pada usia ini periode fertilitas tertinggi, insiden kelainan kromosom janin terendah, resiko komplikasi kehamilan terendah, dan mencegah kanker serviks,” jelas Arietta.