Massa pendemo yang tewas, jumlahnya terus bertambah. Kudeta Myanmar termasuk yang paling berdarah
PINUSI.COM – Massa pendemo anti-kudeta militer di Myanmar masih berlanjut. Negara yang dulu berjuluk Burma ini, kurun satu dekade belakangan, tengah bereksperimen dengan sistem demokrasi di Myanmar.
Puncaknya pada 1 Februari 2021 lalu, militer memutuskan untuk menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi. Sebab, partai yang mendukung Suu Kyi menang telak pada pemilu lalu.
Keputusan kudeta oleh junta militer, memicu protes. Dan setiap harinya, massa yang turun ke jalan terus bertambah. Mirisnya, penambahan itu berjalan seiring dengan jumlah korban tewas dari massa pendemo.
Berjatuhannya para pendemo, akibat cara penanganan anarkis dan represif dari aparat setempat. Tindakan ini pun sudah mendapat respons yang beragam dari dunia internasional. Kekuatan Barat juga telah berulang kali menghantam para jenderal Myanmar dengan sanksi.
Di sisi lain, pihak Inggris pun menyerukan serta menginisiasi untuk diadakannya pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Jumat nanti. Meski banyak tekanan, namun pihak junta militer tetap mengabaikan kecaman global, menanggapi pemberontakan dengan kekuatan yang meningkat.
Utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan bahwa hingga Rabu 3 Maret 2021, bertambah lebih dari 50 orang pendemo yang telah tewas, jumlah itu adalah total keseluruhan korban, sejak pengambil alihan oleh pihak junta militer, dengan lebih banyak lagi yang terluka. Sehari sebelumnya, tercatat setidaknya 17 orang pendemo tewas, dengan Monywa di wilayah Sagaing Tengah, mencatat 7 korban.
Dia pun mengimbau agar PBB segera mengambil tindakan yang sangat keras terhadap para jenderal, menambahkan bahwa dalam percakapannya dengan mereka, mereka telah menepis ancaman sanksi. "Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi. Hanya hari ini, 38 orang tewas,” tuturnya sebagaimana dikutip dari AFP, Kamis (4/3/2021).