Poligami adalah fakta empiris yang ditemukan KPK pada beberapa kasus. Bukan pemicu utama, hanya faktor pendukung.
PINUSI.COM – Poligami masuk dalam daftar pemicu seseorang untuk melakukan korupsi sekaligus juga penyebab mengapa praktik korupsi terus-terusan terjadi di Indonesia. Sebuah informasi mengejutkan juga kurang mengenakkan memang, tapi demikian lah fakta empiris di lapangan.
Pada beberapa kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2004 silam, tidak sedikit ditemukan tersangka korupsi yang ketahuan sebagai penganut paham poligami, bahkan sering kali aliran uang hasil korupsi kedapatan mengalir ke istri-istrinya.
Kendati begitu, praktik pernikahan yang memiliki pasangan lebih dari satu ini bukan pemicu utama, masih ada beberapa faktor-faktor lain yang mendorong orang untuk nekat melakukan korupsi. Demikian disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri saat mengisi kuliah umum di Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh.
Sesi kuliah umum digelar secara hybrid—online dan offline—pada Kamis (25/3/2021). Di hadapan para mahasiswa, Firli membeberkan hal-hal apa saja yang memiliki potensi untuk mendorong seseorang melakukan korupsi.
Yang pertama, sebut Firli, adalah faktor keserakahan. Sifat tidak pernah merasa puas ini, adalah hasrat paling kuat yang mendorong seseorang nekat korupsi. Firli membeberkan, para tersangka korupsi yang pernah ditangkap lembaga antirasuah selama ini, mayoritas memiliki latar belakang sebagai orang terpandang, memiliki status sosial yang tinggi.
Dia menambahkan, kebanyakan dari para tersangka korupsi tersebut bisa dibilang adalah orang-orang kaya yang sejatinya sudah bergelimangan harta, bahkan tempat hunian yang mereka miliki pun lebih dari satu tapi tak kunjung merasa cukup, kerap berlindung di balik kalimat terdesak kebutuhan. "Terkadang fakta empiris istrinya juga lebih dari satu," sebutnya.
Di samping itu, masalah sistem dan rendahnya integritas juga memicu terjadinya tindakan korupsi. Namun Firli mengingatkan, pemicu yang paling berbahaya adalah soal vonis hukuman koruptor yang masih terbilang ringan.
Ringannya vonis hukuman, sambung Firli, bukan saja memicu terjadinya korupsi secara terus menerus, melainkan juga turut serta melahirkan mindset yang menyepelekan dampak dari perbuatan korupsi itu sendiri.
Bekas Kapolda Sumatera Selatan itu meyakini, faktor ini lah yang membuat orang tidak jera. Sebab, terdapat kesenjangan atau ketidaksetaraan yang signifikan antara hasil korupsi yang didulang dengan hukuman yang pelaku korupsi jalani.
"Cuma ditahan 2 tahun dapat ratusan miliar, bunga deposito sekian, maka saya dapat sekian. Kurungan 6 bulan atau uang pengganti Rp 20 miliar, mendingan kurungan 6 bulan dari pada denda Rp 20 miliar. Jadi itu yang membuat bahayanya orang melakukan korupsi," sambungnya.
Berbicara kinerja, Firli pun jadi mengenang masa dimana dirinya masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada tahun 2018, yang dia nilai sebagai tahun tersibuk bagi KPK. Pasalnya pada tahun itu, penangkapan koruptor terbanyak terjadi, dengan jumlah operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak 30 kali. “Jadi saya berpikir sudah banyak ya yang kita tangkap tapi kenapa tidak berhenti orang melakukan korupsi," ucap dia.
Lebih jauh dia mengungkapkan, kurun 16 tahun terakhir—2004 hingga 2020—KPK sudah menangkap 1.552 tersangka korupsi. Dari jumlah tersebut, tercatat sebanyak 329 orang dari kalangan perusahaan swasta, dan 280 orang lainnya datang dari kalangan parlemen, anggota DPR ataupun anggota DPRD.
Sedangkan dari kalangan pemerintahan, beber dia, tercatat sebanyak 21 orang Gubernur dan 129 Bupati/Walikota, jadi tersangka korupsi. Dan beberapa tersangka sisanya, datang dari kalangan yudikatif, ada yang berprofesi jaksa ataupun hakim.
Pada sisi demografi, lanjut dia, sebanyak 26 Provinisi dari 34 Provinsi yang Indonesia miliki, pernah tersangkut kasus korupsi. Firli menyebut, Jawa Barat adalah Provinsi yang paling banyak terjadi kasus korupsi. Total ada 101 tersangka di Provinsi ini.
Sedangkan dari Provinsi Jawa Timur tercatat 93 orang, Provinsi Sumatera Utara 73 tersangka dan Provinsi Aceh yang menduduki peringkat ke-14 memiliki 14 orang tersangka. “Mudah-mudahan delapan provinsi lainnya itu memang betul-betul tidak ada bukan karena belum tertangkap,” tandas dia.