Anak rentan terorisme, sekalipun itu anak pelaku aksi teror. Mari ubah cara pandang dan selamatkan masa depan anak
PINUSI.COM – Anak rentan terorisme. Ketika terdampak, terpapar, terkait atau bahkan terlibat suatu aksi terorisme, status si anak tetaplah korban. Maka dari itu dibutuhkan pendekatan humanis serta edukasi demi menjaga kejiwaan si anak.
Dalam Talkshow Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme Menurut Pandangan Anak, pada Jumat (16/4/2021) kemarin, Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Polri, Kombes Moh Djafar Shodiq menegaskan, anak yang terjerat tindak terorisme merupakan korban dari lingkungan maupun orangtua yang salah, biarpun masuk dalam tatanan unsur perbuatan melawan hukum tapi mereka merupakan korban yang harus diberikan pendekatan secara komprehensif.
Selama ini, menurut dia, Densus 88 telah melakukan langkah terbatas dalam memutus mata rantai generasi terorisme melalui pendekatan humanis dan soft approach terhadap anak, istri maupun keluarga pelaku aksi teror.
“Kami memisahkan anak pelaku dari keluarganya untuk mencegah mereka terpapar paham ekstrem, kemudian memberikan assement pendampingan psikologis, serta menyekolahkan mereka di sekolah dengan pendidikan moderat. Hal ini diharapkan dapat membuat mereka menjadi agen perubahan dari generasi muda untuk membangun anak-anak yang berpikir moderat dan terlindungi dari paham radikal dan aksi terorisme,” tutur Djafar Shodiq.
Menanggapi itu, Seto Mulyadi menyatakan dukungan kepada Densus 88 atas usahanya yang mengedepankan pendekatan humanis. Psikolog anak yang akrab disapa Kak Seto ini juga meminta agar dalam proses penangkapan pelaku teror, tidak dilakukan di hadapan anak untuk mencegah timbulnya rasa dendam yang dapat menumbuhkan bibit terorisme.
“Anak sejatinya merupakan peniru, jika anak berada dalam lingkungan yang penuh kedamaian, maka karakter itulah yang terbentuk. Tapi jika penuh kekerasan, hal itulah yang akan dibentuk dalam diri anak. Keluarga harus menerapkan pengasuhan dan pendidikan yang damai, menghargai perbedaan, tanpa kekerasan, dan adanya komunikasi terbuka. Namun harus kontrol dari warga sekitar. Untuk itu perlu dibentuk seksi perlindungan anak di tingkat RT,” jelas Kak Seto.
Terkait itu, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Negara memiliki tugas penting untuk melindungi anak-anak korban terorisme, di antaranya dengan melakukan edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme; konseling tentang bahaya terorisme; rehabilitasi sosial; dan pendampingan sosial.
“Seringkali mereka dianggap sebagai manusia tak berguna, membuat sengsara, dan harus dibinasakan. Bahkan harus berganti identitas agar mereka mendapatkan haknya kembali. Mari bersama ubah cara pandang kita bahwa diluar sana ada anak-anak yang harus kita selamatkan,” ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dalam Kondisi Khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Elvi Hendrani.