Mudik dilarang, berkunjung ke kediaman para kerabat dan sahabat terdekat di kawasan aglomerasi, bisa jadi pelipur lara.
PINUSI.COM – Mudik dilarang lagi. Rakyat lagi-lagi gigit jari, dipaksa memendam 2 tahun kerinduan dengan kampung halaman dan sanak saudara. Alasannya sama seperti tahun lalu, mencegah penyebaran Covid-19.
Masyakat pada umumnya, sebagian dari mereka beranggapan bahwa mudik lokal di wilayah algomerasi masih diperbolehkan. Akan tetapi, ada juga yang masih menantikan kejelasan dan penjelasan dari pemerintah secara rinci, segera. Topik ini jadi buah bibir belakangan ini, mengingat lebaran terlaksana dalam hitungan pekan.
Penjelasan dari Aglomerasi itu sendiri, merupakan sebuah kota atau kabupaten yang telah diperpanjang, terdiri dari pusat kota yang padat—umumnya kotamadya—dan kabupaten yang terhubung oleh daerah perkotaan yang berkesinambungan.
Selain geografis, aglomerasi terhubung dalam satu kawasan pertumbuhan strategis. Contohnya seperti Jabodetabek, atau Bandung Raya yang meliputi Kota dan Kabupaten Bandung serta Kota Cimahi. Meski Pemerintah telah resmi melarang aktivitas mudik pada Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah, tapi pemerintah masih membolehkan masyarakat melakukan pergerakan antar-kota penyangga selama masa larangan mudik lebaran.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idulfitri 1442 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Aturan ini menyatakan, warga tetap bisa melakukan perjalanan apabila daerah tujuan masih termasuk dalam daftar 8 wilayah aglomerasi atau daerah penyangga suatu kota atau kabupaten. Berikut rinciannya:
1. Medan Raya: Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo
2. Jabodetabek: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
3. Bandung Raya: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat
4. Semarang Raya: Semarang, Kendal, Demak, Ungaran, Purwodadi
5. Yogyakarta Raya: Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul
6. Solo Raya: Kota Solo, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen
7. Surabaya Raya: Surabaya, Gresik, Lamongan, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo
8. Makassar Raya: Makassar, Takalar, Maros, Sungguminasa
Kendati demikian, ada juga daerah yang tidak masuk daftar tersebut, namun mengizinkan warganya untuk melakukan mudik lokal. Salah satunya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang mengizinkan warganya mudik ke kota atau kabupaten mana pun, asalkan masih wilayah Provinsi NTB.
Kemudian, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga sempat mengizinkan warga untuk mudik lokal, asalkan memenuhi kriterisa kesehatan. Sedangkan untuk perbatasan luar daerah, telah didirikan posko penyekatan di beberapa titik. Mulai H-7 (6/5/2021) hingga H+7 (20/5/2021) setiap kendaraan yang melintas akan diperiksa.
Belakangan, kebijakan tersebut dibatalkan Pemprov Sumsel, seiring permintaan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo agar warga tidak melakukan mudik lokal. Doni berharap masyarakat mau patuh dan sadar untuk tidak mudik lokal serta pulang kampung sebagai salah satu upaya menekan potensi laju penyebaran Covid-19.
"Mudik lokal pun kita harapkan tetap dilarang. Jangan dibiarkan terjadi mudik lokal. Kalau terjadi mudik lokal, artinya ada silaturahmi, ada salam-salaman, ada cipika-cipiki. Artinya apa? Bisa terjadi proses penularan satu sama lainnya," kata Doni pada Minggu (2/5/2021) sore yang lalu.
Larangan mudik lokal yang digaungkan oleh Satgas Penanganan Covid-19 di kawasan aglomerasi ini, dikritik lantaran mudah disalahtafsirkan, hingga menganggap aktivitas non-mudik adalah hal yang diperbolehkan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena mengingatkan bahwa pemerintah harus mempersiapkan aturan yang matang. Harus juga mempu menjelaskan parameter, serta ukuran-ukuran larangan mudik di kawasan algomerasi.
Melki menyebut larangan tanpa memberikan parameter tentu akan membingungkan masyarakat. Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu segera menjelaskan parameter apa yang menentukan seseorang melakukan mudik dan tidak melakukan mudik di wilayah aglomerasi.
"Ini kan bisa dijelaskan dan tentu ukuran-ukuran ini kami harap pemerintah bisa segera sampaikan ke publik sehingga nanti tidak membingungkan dan bisa membuat publik lebih jelas dalam memaknai kebijakan melarang mudik di kawasan aglomerasi dan nonmudik dipersilakan," ucapnya, Jumat (7/5/2021).
Anggota Komisi IX DPR RI lainnya, Saleh Partaonan Daulay meragukan aturan larangan mudik di wilayah aglomerasi bisa diterapkan lantaran adanya kesulitan teknikal untuk membedakan antara orang mudik dan nonmudik di kawasan tersebut.
Aturan tersebut, kata dia, bisa disalahtafsirkan oleh masyarakat. "Jika dihentikan polisi, ya mereka menyebutnya jalan-jalan ke mal atau ke tempat wisata. Terus bagaimana membedakannya? Bagaimana memverifikasinya?" ceplos Saleh.