PINUSI.COM, Jakarta – Ombudsman RI telah menyelesaikan Kajian Sistemik Tinjauan Terhadap Implementasi Reforma Agraria Dalam Penyelesaian Konflik Agraria dan Redistribusi Tanah serta menyampaikannya kepada institusi terkait agar dilakukan perbaikan. Ombudsman menemukan sejumlah potensi maladministrasi dalam penyelesaian konflik dan redistribusi tanah yaitu penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan dan penyalahgunaan wewenang.
“Karenanya perlu perbaikan kebijakan penyelesaian konflik agraria,” tegas Anggota Ombudsman RI, Dadan S Suharmawijaya dalam acara Penyampaian Hasil Kajian Sistemik Ombudsman RI, di Kantor Ombudsman RI Jakarta Selatan.
Dadan memaparkan tujuh temuan Ombudsman RI terhadap Implementasi Reforma Agraria Dalam Penyelesaian Konflik Agraria dan Redistribusi Tanah. Pertama, regulasi atau kebijakan penyelesaian konflik agraria tidak komprehensif.
“Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria mengamanatkan penanganan sengketa dan konflik agraria diatur dengan Peraturan Menteri, namun Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan tidak secara spesifik diterbitkan dalam kerangka Reforma Agraria,” terang Dadan.
Kedua, Ombudsman menemukan belum adanya skema layanan administrasi dalam penentuan subjek dan objek pada Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Dadan menyampaikan tidak ditemukan regulasi mengenai kriteria pihak-pihak yang dapat mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), termasuk syarat kondisi objek TORA.
Ketiga, belum optimalnya penyelesaian konflik agraria terkait aset negara, aset BUMN/ kekayaan negara yang dipisahkan dan Kawasan Hutan. Keempat, terbatasnya kewenangan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dalam Penyelesaian Konflik Agraria. Kelima, belum adanya resolusi konflik dalam bingkai Reforma Agraria. Keenam lemahnya koordinasi antar instansi dan ketujuh penyelesaian konflik belum menjadi indikator keberhasilan Reforma Agraria.
Berdasarkan temuan tersebut, Ombudsman RI menyampaikan saran perbaikan kepada institusi terkait dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, Kantor Staf Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan agar merevisi Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, guna memperkuat substansi penyelesaian konflik agraria dalam konteks RA, termasuk penguatan kewenangan GTRA di pusat dan daerah dalam rangka penyelesaian konflik agraria.
Selain itu Ombudsman juga meminta agar dilakukan perumusan regulasi dan teknis operasional yang komprehensif tentang penyelesaian konflik agraria terkait aset negara dan kawasan hutan. Selanjutnya, Ombudsman menyarankan perumusan resolusi konflik dalam kerangka Reforma Agraria, agar konflik agraria yang bersifat lintas sektoral dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.
“Yang tidak kalah penting adalah meningkatkan koordinasi antar instansi penyelengara Reforma Agraria melalui mekanisme kerja bersama. Kami juga mendorong agar penyelesaian konflik agraria sebagai indikator keberhasilan Reforma Agraria agar penyelesaian konflik tercapai secara optimal dan terukur,” pungkas Dadan.