PINUSI.COM - Hadirnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo dalam kontestasi Pilpres 2024, disebut menandakan adanya kuasa relasi untuk melanggengkan politik dinasti.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum DPP National Corruption Watch (NCW) Hanifa Sutrisna, Kamis (26/10/2024).
NCW menyoroti adanya kebobrokan nafsu syahwat oligarki di lingkungan Istana Negara atas dugaan pengaturan keputusan di Mahkamah Konstitusi, yang memberikan karpet merah untuk putra mahkota, agar bisa maju menjadi bacawapres tergelar dengan sempurna, meskipun beraroma suap, kolusi, dan nepotisme.
“Hari ini kita kembali dipertontonkan opera oligarki di dunia perpolitikan Indonesia."
"Kami DPP NCW melihat MK makin ugal-ugalan, keluar dari esensinya yang semestinya menjalankan check and balances pada kekuasaan pembuat undang-undang (eksekutif dan legislatif),” kata Hanif.
Dia mengatakan, kekhawatiran akan ketidaknetralan dari Ketua MK membuat publik meragukan lembaga penegakan hukum konstitusi ini tidak dapat dipercaya, jika terjadi perselisihan pada Pilpres dan Pileg 2024.
“Jika lembaga sebesar MK bisa dikooptasi dan dikonsolidasikan oleh oknum penguasa, ke mana lagi rakyat akan mengadu jika hak konstitusi mereka diganggu oleh undang-undang dan peraturan yang dibuat penguasa?” Tutur Hanif.
Menurutnya, Gibran telah memperlihatkan betapa kecilnya nilai perjuangan, pengalaman dan jabatan para Ketua Umum Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) di hadapan ribuan relawan dengan menyatakan ‘tenang Pak Prabowo, saya ada di sini.’
“Segitu hebatnya politik dinasti sehingga cukup dengan seorang Gibran, seolah-olah semua masalah bisa diselesaikan dengan kekuasaan dan nepotisme, karena ada hubungan kuasa relasi dengan Presiden Jokowi,” ujarnya.
Hanif pun menyinggung saat adik Gibran Rakabuming, yakni Kesang Pangarep, satu bulan sebelum keputusan kontroversial MK (25/9/2023), ia dilantik menjadi Ketua Umum Partai Soliaritas Indonesia (PSI).
“Kami duga keras ini adalah bentuk gratifikasi berupa previlege (kemudahan), karena ada kuasa relasi sebagai anak Presiden Jokowi."
"Apa iya seperti ini demokrasi dan suksesi dalam perpolitikan yang sehat yang dibangun pasca-reformasi di Indonesia?” ucap Hanif.
Lebih lanjut dia menilai, inkonsistensi hakim MK dan pengerdilan pimpinan KPK memperlihatkan Presiden Jokowi saat ini sedang membentuk ‘Rezim Orde Oligarki,’ guna melindungi ‘dosa-dosa politik dan ekonomi’ selama 2 periode kekuasaannya.
“Ke mana hati nurani dan suara para tokoh-tokoh bangsa, para aktivis dan mahasiswa saat ini?"
"Kebobrokan nafsu syahwat rezim penguasa saat ini dipertontonkan dengan pembiaran KKN di mana-mana, kenapa tidak ada aksi dan perlawanan yang berarti?"
"Masalah bangsa ini tidak akan selesai hanya dengan berbisik-bisik di kedai kopi dan diskusi di TV tanpa ada eksekusi,” geram Hanif.
Hanif lantas menyinggung terkait banyaknya program coba-coba di era Presiden Jokowi yang gagal dan merugikan uang negara yang tidak sedikit. Seperti, gagalnya program lumbung pangan nasional (LPN) yang merupakan nawacita Jokowi.
Dia menilai, sejumlah program yang dicanangkan oleh menteri di kabinet Jokowi pada periode kedua ini yang akhirnya terseret korupsi, hanyalah program untuk menguntungkan kantong pribadi.
“Kami khawatir akan banyak dugaan korupsi karena dibolehkannya ‘program coba-coba dan gagal’, penguasaan bisnis oleh oligarki yang berjuang demi pundi-pundi pribadi, maka kita tinggal menunggu kemiskinan akan menjadi-jadi."
"Jika ini terjadi, maka peradilan rakyat akan menjadi puncak perlawanan nantinya kepada rezim dinasti oligarki ini,” bebernya. (*)