PINUSI.COM - Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi menyatakan, perlu ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) koperasi.
Menurutnya, hal itu diperlukan untuk melindungi hak-hak anggota koperasi yang dirugikan, serta meminimalisir kerugian yang muncul akibat berbagai praktik, terlebih Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
"Pembentukan LPS semata-mata dilakukan karena pemerintah ingin melindungi kepentingan anggota koperasi dan masyarakat, dari praktik-praktik merugikan anggota koperasi," kata Zabadi lewat keterangan tertulis, Sabtu (9/12/2023).
Zabadi mengatakan, munculnya pelbagai masalah di KSP, karena saat ini koperasi belum membentuk suatu ekosistem yang kokoh bagi koperasi.
Koperasi yang kokoh, kata dia, hanya bisa dibangun berdasarkan undang-undang yang baru, dan lebih bisa mengakomodir perubahan dan perkembangan zaman.
"Kalau kita berkaca pada perbankan. Saat Covid-19 ada bank yang bermasalah. Jika ekosistem perbankan belum kuat, mereka bisa saja gagal bayar," katanya.
Sehingga, kata dia, meskipun terjadi masalah, tidak terjadi rush, karena industri bank sudah memiliki LPS yang menjamin simpanan nasabah hingga Rp2 miliar.
"Bahkan, industri perbankan juga mempunyai Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan otoritas lain seperti BI, dan OJK," ungkap Zabadi.
Zabadi mengatakan, dengan kata lain, ekonomi industri perbankan di Indonesia saat ini sudah sangat kokoh.
"Berbeda dengan koperasi, saat ini koperasi belum punya ekosistem yang kuat."
"Di perbankan yang bisa memailitkan itu OJK atau Kemenkeu. Ini tidak dipunyai koperasi."
"Di koperasi, anggota juga bisa memailitkan koperasi," terangnya.
Menurut dia, ada lebih dari 30 juta anggota koperasi yang perlu dilindungi kepentingannya, dari praktik-praktik yang merugikan dari pendiri ataupun pengurus koperasi.
Zabadi juga menilai, kehadiran LPS menjadi salah satu langkah konkret yang dilakukan pemerintah, dalam menyiapkan ekosistem koperasi yang semakin kokoh.
Penyiapan ekosistem ini, ungkap Zabadi, sangat mendesak dilakukan, sesuai mandat Mahkamah Konstitusi, saat menbatalkan seluruh materi muatan UU 17/2012 tentang Perkoperasian.
"Apalagi ini sudah dari 10 tahun sejak putusan MK."
"UU Perkoperasian yang baru harus segera hadir agar bisa mengakomodir perubahan zaman dan kondisi terkini," beber Zabadi.
Hingga kini, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan DPR untuk membahas RUU Perkoperasian. DPR berjanji akan memprioritaskan RUU Perkoperasian setelah reses selesai.
Pengamat hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Pujiyono Suwandi menjelaskan, pada dasarnya koperasi memang milik anggota. Akan tetapi, koperasi juga mempunyai subjek hukum mandiri, yaitu pengurus.
Menurut Pujiyono, saat ini banyak pengurus yang merasa koperasi adalah miliknua pribadi. Sehingga, para pengurus ini bisa berbuat sesuka hati dalam mengelola koperasi.
"Padahal, langkah itu bisa berdampak buruk bagi kelangsungan koperasi di Tanah Air."
"Subjek hukum mandiri ini berfungsi mewakili anggota koperasi."
"Di sisi lain, tidak semua anggota koperasi tahu apa yang akan dilakukan oleh pengurus."
"Maka, kepentingan dari anggota koperasi perlu dilindungi," jelasnya.
Dengan demikian, kata Pujiyono, UU Perkoperasian yang baru harus hadir dengan semangat memperbaiki, serta mendorong koperasi untuk naik kelas. (*)