PINUSI.COM - Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan alias #16HAKTP, kembali digelar serentak di berbagai daerah di Indonesia.
Sejak 2001, Komnas Perempuan sebagai inisiator di tingkat nasional, mendorong keterlibatan berbagai elemen publik secara berkelanjutan, melakukan sejumlah upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Para pihak yang terlibat adalah lembaga pelayanan korban kekerasan, kementerian, dan lembaga, termasuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di daerah, akademisi, korporasi, masyarakat sipil, dan lainnya.
Tahun ini, Komnas Perempuan mendorong publik untuk #GerakBersama menyuarakan pesan 'Kenali Hukumnya, Lindungi Korban," dengan menekankan pentingnya kebijakan, peraturan dan perundang-undangan dikenali aparat penegak hukum serta masyarakat luas, agar diimplementasikan demi perlindungan korban.
Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, Indonesia memiliki beberapa UU yang melindungi perempuan
Di antaranya, UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Selanjutnya, kata Mariana, UU 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Kendati demikian, begitu disayangkan, korban, terlebih perempuan, belum mendapatkan hak-haknya, sebagai dampak belum maksimalnya pelaksanaan undang-undang tersebut.
"Kami mendorong pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, lebih banyak mengetahui ada perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan, supaya mereka berani melaporkan kasusnya," kata Mariana lewat keterangan tertulis, Sabtu (25/11/2023).
Komnas Perempuan mencatat dari 2001 hingga 2021, terjadi peningkatan pelaporan KDRT, saat UU PKDRT disahkan pada 2004. Artinya, semakin banyak korban tahu ada perlindungan hukum dan berani melaporkan kasusnya.
"Namun, tantangan pelaksanaan juga banyak ditemukan. Di mana, banyak korban justru dikriminalisasi," ungkapnya.
Menurut Mariana, selama 21 tahun, tercatat lebih dari 2,5 juta Kekerasan Berbasis Gender dari ranah personal dilaporkan, di mana Kekerasan terhadap Istri (KTI) paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 484,993 kasus.
"Jika dalam pelaksanaan UU PKDRT saja masih banyak ditemui hambatan dan tantangan, maka pelaksanaan UU TPKS yang baru disahkan pada tahun lalu juga mesti dikawal bersama, baik di nasional hingga pada harmonisasi peraturan di daerah," tuturnya.
Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menyampaikan, refleksi yang diselenggarakan Komnas Perempuan dengan pendamping korban saat kunjungan ke berbagai daerah, menunjukkan masih ditemui aparat penegak hukum (APH) yang terus berpatokan pada KUHP.
"Padahal seharusnya menggunakan UU TPKS, apalagi praktik restorative justice kerap dilakukan ," ucap Veryanto Sitohang.
Menurut dia, saat ini Rancangan Peraturan Pelaksana (RPP) UU TPKS telah disusun, dan tengah diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Akan tetapi, kata Veryanto, sosialisasi tentang UU TPKS gencar dilakukan Komnas Perempuan dan lembaga layanan, agar segera diimplementasikan oleh APH, pemerintah, lembaga layanan, serta lembaga terkait.
"Komnas perempuan juga menyoroti Rancangan Undang-undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)."
"Sudah lebih dari 19 tahun, namun RUU PPRT belum menunjukkan akan disahkan, kerap tertunda pembahasannya, sementara perempuan pekerja rumah tangga rentan dan terus bertambah menjadi korban," paparnya.
Dengan begitu, momentum #16HAKTP bukan hanya ruang untuk mengadvokasi pengesahan kebijakan, tetapi juga untuk #GerakBersama mendorong pemerintah, DPR RI dan APH, agar sungguh-sungguh mengimplementasikan UU TPKS.
Hal tersebut demi penghapusan kekerasan seksual, juga dengan payung hukum lainnya seperti UU PKDRT yang sudah hampir dua dekade berjalan, masih memiliki tantangan pemahaman secara utuh, serta mendorong pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
Kampanye #16HAKTP tahun ini terdapat 147 kegiatan kampanye publik, dengan keterlibatan 119 organisasi masyarakat sipil dari 21 provinsi di Indonesia. (*)