Angka perkawinan usia anak sedang marak di Indonesia, utamanya di saat pandemi Covid-19, hal itu diungkap Ditjen Peradilan Agama
PINUSI.COM – Angka perkawinan usia anak di Indonesia meningkat, salah satu dampak lain dari terpaan pandemi Covid-19. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari hingga Juni 2020, sementara di tahun sebelumnya hanya 23.700 permohonan kawin.
Sebanyak 97 persen dari jumlah itu, permohonannya dikabulkan. Di sisi lain, 60 persen dari jumlah permohonan tersebut, yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Hal ini pun dinilai pemerintah sebagai persoalan yang mesti diselesaikan.
Sejatinya, perkawinan usia anak merupakan persoalan lama yang angkanya masih tergolong tinggi di Indonesia, terlepas dalam situasi pandemi atau bukan. Diperlukan langkah-langkah sinergis antar pemangku kepentingan di negeri ini tanpa harus mengabaikan norma-norma agama dan norma-norma kemasyaratan.
Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kemen PPPA RI, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Kementerian Agama RI, Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), berkomitmen untuk bekerja sama dan saling mendukung dalam melakukan berbagai upaya pendewasaan usia perkawinan dan peningkatan kualitas keluarga demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia.
Sinergi dan komitmen tersebut direalisasikan dalam bentuk Deklarasi Gerakan Nasional dan Seminar Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, pada Kamis (18/03/2021). Kegiatan juga dihadiri Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin.
“Gerakan Pendewasaan Perkawinan harus dapat memberikan advokasi kepada masyarakat, bahwa usia perkawinan jangan hanya dilihat dari sisi bolehnya saja. Tetapi yang paling penting, mengedepankan tujuan perkawinannya yang harus memberikan maslahat, baik maslahat untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa,” ujar Wakil Presiden, Ma’ruf Amin.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meyakini jika upaya pencegahan harus terus digaungkan karena besarnya dampak buruk dari perkawinan usia anak, salah satunya adalah stunting.
“Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi. Bahkan data membuktikan, bahwa stunting terlahir dari ibu yang masih berusia anak. Itulah sebabnya mengapa kita merevisi UU No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019,” jelas dia.
Sementara itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Miftachul Akhyar menyatakan dengan tegas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kemaslahatan keluarga, umat, dan bangsa yang harmoni, yang pada gilirannya akan terwujud generasi Indonesia yang berkualitas pula.
Dia menengarai perkawinan anak marak terjadi karena adanya berbagai faktor. Mifatachul Akhyar menduga banyaknya konten ‘dewasa’ atau pornografi yang membuat anak terpapar konten tersebut menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, menurut Mifatachul Akhyar pencegahan perkawinan usia anak harus diatasi bersama sebagai tanggung jawab bersama.
“Maka tidak serendah pemahaman selama ini asal cocok kawin atau karena batasan usia yang ditetapkan. Tapi kalau belum ada tujuan (harmoni) itu perkawinan yang belum berkualitas. Tentu semua itu ada hal-hal yang menjadi penyebab meningkatnya perkawinan usia anak, terutama di desa-desa. Ini kewajiban kita bersama, dan kewajiban pemerintah untuk mengamati penyebabnya,” ujarnya.