Anak penyandang disabilitas masih dianggap oleh keluarganya sendiri sebagai aib yang memalukan jika sampai terekspos.
PINUSI.COM – Anak penyandang disabilitas rentan terhadap hal-hal merugikan dan berdampak jauh bagi tumbuh kembangnya. Hal-hal tersebut di antaranya, kekerasan fisik, psikis, seksual, bullying, stigma buruk hingga pemasungan.
Berdasarkan data BPS dalam Profil Anak Indonesia pada 2020, diketahui ada sekitar 0,79 persen atau 650ribu anak penyandang disabilitas dari 84,4 juta anak Indonesia. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada tahun 2019 juga menunjukan ada sebanyak 13,5 persen anak belum pernah sekolah dan 9,58 persen tidak lagi bersekolah.
Kembali soal kekerasan. Tercatat hingga 30 Maret 2021, sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak korban mengalami kekerasan (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, 2021).
Biang keladinya, karena sang anak mendapat pola asuh buruk. Jika ingin merubahnya menjadi pengasuhan baik, dibutuhkan komitmen dan sinergi semua pihak. Demikian dituturkan Nahar, Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), dalam Webinar Sosialisasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di Masyarakat, baru-baru ini.
“Kita harus bisa memahami kondisi anak penyandang disabilitas, memastikan tumbuh kembangnya berjalan dengan optimal, memiliki masa depan yang baik, tidak lagi dibedakan dengan anak non disabilitas lainnya, dan mau mengambil tindakan segera ketika ada anak yang memerlukan perlindungan khusus,” ungkap Nahar, menukil rilis resmi yang redaksi terima, Jumat (1/4/2021) pagi.
Untuk menangani persoalan ini, Nahar menegaskan, perlu sinergi antara ada 4 (empat) pihak yang berperan penting dalam mewujudkan perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas, di antaranya, anak itu sendiri, orangtua atau keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Berkenaan itu juga, berbagai upaya penguatan peran anak maupun masyarakat juga perlu dilakukan. Dan hal itu bisa dilakukan dengan mengembangkan berbagai kegiatan guna mendeteksi secara dini saat anak penyandang disabilitas mengalami kekerasan.
“Empat pihak inilah yang saya harapkan bisa bersinergi. Peran masyarakat sangatlah penting untuk dilakukan, mulai dari perorangan, lembaga perlindungan anak maupun pendidikan, organisasi masyarakat, dunia usaha, hingga media massa,” terang Nahar.
Apa yang dikatakan Nahar, rupanya dialami oleh Pemerintahan Kota (Pemkot) Yogyakarta. Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi mengungkapkan masih adanya orangtua yang menutup diri dan menyembunyikan anaknya yang mengalami kondisi disabilitas menjadi tantangan yang harus dihadapi pemerintah kota Yogyakarta.
Dia menjelaskan tantangan yang dimaksud, ternyata datang dari lingkaran terdekat sang anak. Seperti orang tua dan keluarga yang tak mau membuka diri. Dalam menangani ini, Pemkot akan bertindak sebagai penanggung jawab atas perlindungan hukum, pemenuhan hak pendidikan, penyediaan akses kesehatan, fasilitasi sarana ruang publik maupun transportasi yang ramah, memfasilitasi lapangan pekerjaan, serta memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemandirian dan masa depan yang baik.
Komitmen tersebut, kemudian dikukuhkan Pemkot Yogyakarta melalui terbitnya regulasi baru, yakni Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pemajuan Pelindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. ”Dan mengimplementasikannya untuk mendorong pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak penyandang disabilitas di tengah masyarakat,” tegas dia.
Senada dengan itu, Ketua Yayasan SAPDA, Nurul Sa’adah menekankan tingginya angka kekerasan disebabkan karena banyak orang tua yang belum bisa menerima kondisi anak dan tidak tahu cara mengurusnya.
Untuk itu, Nurul menekankan pentingnya pergerakan dari masyarakat di tingkat akar rumput dalam menyuarakan dan memastikan pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak-anak penyandang disabilitas.
“Masyarakat, khususnya orangtua harus bergerak bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam mengawal dan mendukung tersedianya akses layanan serta perlindungan bagi anak penyandang disabilitas sesuai kapasitas masing-masing. Peran komunitas dalam masyarakat sangat penting,” pungkasnya.
Demikian juga sepaham dengan itu, Ketua Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Kabupaten Bandung Barat, Dian Rosita mengajak masyarakat berperan aktif menuntaskan persoalan anak disabilitas melalui program perlindungan dan pemenuhan hak anak.
“Kami mengajak seluruh masyarakat untuk melindungi dan memenuhi hak mereka khususnya dalam mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan,serta memiliki akta kelahiran dan kartu identitas karena mereka mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang,” jelas Dian.