search:
|
PinNews

Gegara Ranting Warga Dayak Jadi Pesakitan di Kotabaru

Minggu, 16 Jun 2024 20:06 WIB
Gegara Ranting Warga Dayak Jadi Pesakitan di Kotabaru

Empat warga Dayak diadili Pengadilan Kotabaru hanya gegara ranting dan rafia. Foto: Antara via Detik


PINUSI.COM, JAKARTA - Konflik tenurial masih tumbuh subur di tengah kontroversi izin tambang untuk ormas agama. Empat warga Dayak diadili hanya karena ranting dan tali rafia. 

Empat warga Dayak tersebut adalah Udin, Murjani, Musliadi dan M. Abdullah alias Utuh. Mereka berasal dari Magalau Hulu Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Polemik bermula dari aksi unjuk rasa keempatnya bersama beberapa organisasi masyarakat Dayak di jalan hauling PT Sumber Daya Energi (SDE), Kamis 19 Januari 2023.

Ketika itu mereka menuntut penghentian aktivitas PT. SDE. Sebab dianggap mengganggu situs keramat leluhur. Alih-alih tuntutan dikabulkan, empat warga tersebut malah dilaporkan PT SDE ke Polres Kotabaru.

Sangkaannya merintangi aktivitas pertambangan. Mereka dijerat dengan Pasal 162 UU Mineral Batu Bara dan menjadi tersangka.

26 Februari 2024, Pengadilan Kotabaru menyidangkan mereka. Digelar sebanyak dua belas kali, Senin baru tadi (3/6), keempatnya diputuskan bersalah. Masing-masing divonis dua bulan penjara.

Mereka didakwa dengan pasal 162 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan.

Bujino Adriannus Salan, kuasa hukum keempatnya begitu kecewa. Ia memandang putusan hakim ini di luar nalar. Fakta persidangan tak membuktikan lahan tersebut milik PT SDE.

"Sangat jauh dari rasa keadilan," kata Bujino kepada media ini. Apalagi barang bukti di persidangan hanyalah dua batang ranting bambu sepanjang 1 meter. Dan, tali rafia sepanjang dua puluh meter.

Tiga dari empat (baju putih) warga adat di Kotabaru merasa dikriminalisasi buntut aksi unjuk rasa. apakabar.co.id/Sairani

Bagi Bujino, kedua barang bukti tersebut tidak dapat dikatakan merintangi aktivitas perusahaan sebagaimana diatur pasal 162 UU Minerba. 

"Kalau pohon besar yang digunakan menutup jalan hauling itu baru bisa dikatakan merintangi," tambah Bujino.

Faktanya saat aksi unjuk rasa saat itu aktivitas perusahaan tetap berjalan normal. Lewat kuasa hukumnya, pasca-putusan Pengadilan Kotabaru empat warga Magalau ini mengajukan banding, 10 Juni 2024.

Tantri Cahyadi Ketua Pasukan Lawung Bahandang (PLB) Kabupaten Kotabaru yang juga aktif mengawal dan mendampingi selama persidangan mengutarakan kekecewaannya.

"Ini jelas kriminalisasi. Aksi unjuk rasa Januari 2023 yang lalu itu tidak ada menghalangi aktivitas perusahaan, kami hanya berupaya melindungi situs kami," jelasnya.

Situs budaya dimaksud adalah gunung keramat Sanggrahan. Gunung ini kerap dijadikan tempat ritual warga Dayak yang dianggap sakral.

"Inilah yang dijadikan jalan hauling oleh PT SDE," jelasnya.

Tantri berharap hakim pada tingkat Pengadilan Tinggi bisa menerapkan vonis bebas.

Walhi Kalsel sepakat bahwa apa yang menimpa keempat warga Kotabaru itu adalah tindak kriminalisasi.

"Ini jelas upaya kriminalisasi oleh perusahaan dengan menggunakan pasal karet dalam UU minerba. UU ini sudah pernah diajukan judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi," jelas Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Jefri Raharja dihubungi media ini secara terpisah.

MK menolak 3 poin utama dalam JR tersebut. Yaitu terkait (1) menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat.

Kedua, potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba. Dan ketiga jaminan perpanjangan otomatis bagi kontrak karya (KK) dan PKP2B.

Nah pada poin nomor dua itulah yang sangat mengancam rakyat dalam mempertahankan tanah dan lingkungan.

"Terbukti dalam kejadian ini pihak perusahaan menggunakan pasal karet tersebut," jelasnya.

Walhi mengutuk keras upaya kriminalisasi rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya. Sebab bertentangan dengan amanat konstitusi.

Jika menggunakan UU nomor 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu pasal 66 menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat yang didasarkan pada itikad baik tidak bisa dituntut secara pidana. "Ataupun digugat secara perdata," pungkas Cecef, sapaan karibnya.

PT SDE adalah sebuah perusahaan yang menambang batu bara dengan sistem bawah tanah atau underground mining. Lahan operasinya berlokasi di Kabupaten Kotabaru. Tepatnya di Kecamatan Kelumpang Barat, Kecamatan Sungai Durian dan Kecamatan Kelumpang Hulu. 70 persen saham perusahaan ini dimiliki Qinfa Mining Industri asal China. Kapasitas maksimum produksi batu baranya mencapai 20 juta ton per tahun.

Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Kotabaru menilai akibat perbuatan terdakwa merintangi jalan hauling, PT SDE mengalami kerugian sebesar Rp5 miliar rupiah. apakabar.co.id sudah menghubungi Humas PT SDE melalui WhatsApp. Namun sampai berita ini tayang, belum ada respons.

Terpisah, Aktivis PADI Indonesia, Ismail Arrasyid menilai sebaiknya pemerintah mengkaji ulang izin tambang ke ormas.

"Gaya-gaya kriminalisasi-kriminalisasi seperti ini harus selesai dulu sebelum pemerintah memberi izin tambang ke ormas," jelasnya di Balikpapan.  

Jangan sampai izin tersebut menjadi masalah baru. Apalagi sampai nantinya mengadu domba masyarakat adat dengan ormas agama.

"Pasti akan berhadapan dengan masyarakat, bukan hanya masyarakat adat," jelas pria yang konsern mendampingi masyarakat adat Kalimantan ini.

Sebaiknya, Mail bilang, ormas agama tidak terlibat dalam bisnis pertambangan batu bara.

"Duit dari bisnis tambang itu haram. Karena merusak lingkungan. Seharusnya NU lebih paham mengenai fikih lingkungan," jelas Mail. (Ahmad Sairani)



Editor: Fariz Fadhillah

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook